INFO WISATA – Talaga Bodas, Sang Primadona Alam Yang Sempat Lama Tertidur
SEKITAR 200 meter dari pos penjaga, tampak sebuah genangan air berwarna putih dengan kepulan asap yang membubung tinggi di salah satu tepiannya. Sepanjang jalan menuju sumber genangan air itu banyak pohon puspa dan saninten yang tumbuh dengan subur. Angin yang datang menyapa pepohonan membuat daun-daunnya bergerak kesana kemari. Udara dingin mulai menyeruak ke dalam tubuh, sesekali saat menghebuskan napas, kepulan asap putih pun keluar dari dalam mulut.
Sesampainya di tepian, suasana yang jernih terpancar dari kilauan air telaga yang tersorot sinar matahari. Telaga yang merupakan kawah dari hasil letusan gunung berabad-abad lalu itu berwarna putih kehijauan. Karenanya, telaga ini dinamakan Telaga Bodas, dalam istilah Sunda bodas berarti putih. Kandungan belerang yang terdapat di dalam kawahnya menyebabkan telaga tersebut berwarna putih kehijau-hijauan. Namun, tak seperti Gunung Tangkuban Parahu atau Kawah Putih yang kawahnya mengeluarkan bau menyengat.
Kawah Telaga Bodas ini tidak tampak seperti sebuah kawah tetapi lebih seperti sebuah pantai dengan airnya yang mengalir tenang dan tanahnya yang seperti pasir pantai. Adapun bebatuan berukuran sedang yang bisa dipakai untuk bersinggah sambil mengabadikan keindahan telaga ini. Pengunjung bisa berjalan menyusuri tepian telaga dan melihat beberapa sumber uap belerang dalam skala kecil yang muncul dari dalam tanah, menimbulkan gelembung dan bunyi saat bercampur air. Sedangkan di salah satu tepiannya terdapat sumber uap belerang yang lebih besar sehingga menimbulkan gejolak air dengan bunyian yang bergemuruh, diiringi dengan letupan air dan kepulan asap yang membubung tinggi.
Di balik pesonanya itu, telaga yang terletak di tengah-tengah lembah dan dikelilingi pegunungan ini menyimpan sebuah cerita. “Telaga Bodas tidak memiliki dongeng seperti Gunung Tangkuban Parahu, tetapi yang pasti dulu pernah ada kehidupan di sini,” ujar penjaga pos kawasan Talaga Bodas, Agus Cobra.
Seperti yang dikatakan pria kelahiran 17 Agustus 1964 itu, zaman dulu di Telaga Bodas memang pernah terdapat sebuah kehidupan, yakni sebuah perkampungan yang dinamakan Kampung Papandak. Perkampungan tersebut diabadikan oleh seorang fotografer warga negara Belanda keturunan Jerman yang lahir di Kediri, Margarethe Mathilde Weissenborn atau lebih dikenalnya dengan panggilan Thilly Weissenborn. Ia mengabadikan hasil jepretannya dalam bentuk kartu pos.
Pada kartu pos tersebut terlihat dua ekor kambing yang sedang merumput di tengah jalan dan dua anak kecil tanpa busana dengan latar belakang rumah adat kampung Papandak. Di bawah kartu pos itu terdapat sebuah tulisan dalam bahasa Belanda, “Weg Naar Telaga – Bodas”, yang artinya “Jalan Ke Telaga Bodas”.
Kartu pos ini dikeluarkan oleh sebuah studio foto Atelier Lux di Societeitsstraat 15 (kini Jalan Ahmad Yani, Garut) pada tahun 1932. Bukan tanpa alasan, kartu pos tersebut dikeluarkan dengan tujuan sebagai sarana promosi saat itu. Foto-foto hasil jepretan Thilly yang dibuat di sekitar Garut pada tahun 1917 – 1942 ia abadikan dalam bukunya yang berjudul “Vastgelegd voor later”.
Telaga Bodas yang kala itu menjadi primadona wisata alam banyak dikunjungi oleh wisatawan asal Eropa. Saking terkenalnya, pada 4 Februari 1924, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu mengeluarkan keputusan untuk menjadikan Telaga Bodas sebagai salah satu objek wisata. Sebagai upaya promosi, selain membuat dalam bentuk kartu pos karya Thilly, detail peta dan jalur menuju kawasan wisata pun dibuat dalam bentuk buku-buku. Sejak saat itu, banyak turis asing yang berdatangan sambil berkuda. Potensi belerang di kawasan ini pun mulai ditambang untuk kepentingan medis dan kimia.
Namun, ketenaran Telaga Bodas zaman dulu sudah banyak berubah. Bangunan di kampung Papandak dengan bentuk bangunan julang ngapak serta atap cagak gunting sudah tidak bisa ditemukan lagi sejak terbakar pada tahun 1935. Dan setelah lebih dari 70 tahun yang lalu, kondisi ruas jalan pun berubah menjadi jalan berbatu yang tidak layak dilalui kendaraan roda empat. Rumput alang-alang setinggi dada mulai memenuhi jalan setapak menuju objek wisata.
Meskipun begitu, pesona Telaga Bodas tak pernah pudar. Kawahnya masih tetap asri, bahkan pohon puspa dan saninten tumbuh subur di tepian kawah. Selain itu, tak jauh dari lokasi kawah terdapat tiga buah kolam air panas alami dari perut bumi yang bisa digunakan untuk berendam dan dipercaya dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit kulit. Dan sekitar 100 meter dari kolam air panas, pengunjung juga dapat menikmati kesegaran dinginnya air terjun kecil.
Keindahan Telaga Bodas yang memesona itu tidak mengubah fungsinya sebagai objek wisata. Wisatawan tetap bisa mengunjunginya meskipun untuk saat ini jalan menuju objek wisata sedang dalam perbaikan. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan Telaga Bodas sebagai sang primadona alam yang sempat lama tertidur. Sebuah kawah yang indah, tiga kolam berendam air panas, serta sebuah air terjun kecil yang menyegarkan siap menyambut para wisatawan yang datang. (Mayang Ayu Lestari/PDR)
Alamat: Desa Sukamenak & Desa Sukahurip, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut
± 25 Km dari Jln. Raya Garut
± 56 Km dari Tasikmalaya – Malangbong – Cibatu
± 13 Km dari pangkalan ojek Jalan Raya Wanaraja
Luas Area Cagar Alam: 258,05 Ha
Taman Wisata Alam: 27,88 Ha
Transportasi/Akses:
Untuk mencapai lokasi dibutuhkan kurang lebih satu jam dari pangkalan ojek jalan raya Wanaraja, setelah Pasar Wanaraja. Pengunjung dapat menggunakan alat transportasi pribadi, delman, ojek atau angkutan kota dengan trayek: Garut – Cibatu, Garut – Cikelet, terminal Guntur – Sukawening, dan jalur terminal Guntur Perumnas Cempaka Indah. Saat ini, disarankan menggunakan kendaraan offroad. (info PR)
INFO WISATA – Situs Megalitikum Gunung Padang
EMPAT meramaikan pemberitaan pada 2013-2014, situs megalitikum Gunung Padang yang berada di Desa Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, tetap menjadi destinasi wisata bagi penggemar wisata alam dan sejarah. Menjadi topik yang kontroversial sejak diteliti oleh Tim Terpadu Penelitian Mandiri atau yang dulunya bernama Tim Katastrofi Purba yang diinisasi kantor Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial, pimpinan Andi Arief.
Tim Terpadu Penelitian Mandiri yang diarahkan oleh Dr Danny Hilman Natawidjaja, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemudian memberikan beberapa simpulan yang berbeda dengan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang pernah meneliti sebelumnya. Lalu, ada juga petisi dari 34 arkeolog dan geolog atas rencana ekskavasi massal situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara itu.
Terlepas dari kontroversi, kondisi alam dan lingkungan Desa Campaka, Kabupaten Cianjur, terlebih Kampung Gunung Padang, di mana situs tersebut berada, sungguh elok untuk disambangi. Cuaca sejuk dan suasana dengan dominasi hijau dan bebukitan, jauh dari perkotaan, menambah indah kawasan tersebut. Pantas saja, dengan panorama alam tersebut, menurut warga, ada tiga Presiden Republik Indonesia yang pernah berkunjung ke Gunung Padang, mulai dari Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sebenarnya, telah lama tumpukan batu-batu persegi besar di atas Gunung Padang diketahui oleh penduduk sekitar. Mereka mengkeramatkannya dan menganggapnya sebagai lokasi Prabu Siliwangi, penguasa turun-temurun Kerajaan Pajajaran yang masyhur, berusaha membangun istana dalam semalam.
Keberadaan Gunung Padang baru terbuka ke hadapan umum, melalui sejarawan Belanda, NJ Krom pada 1914. Namun, Gunung Padang tak pernah diteliti Belanda, Krom saat itu hanya menyebutkannya sebagai makam purba yang terdiri atas empat teras. Kemudian, sempat dilupakan dan masyarakat kembali melaporkannya pada 1979, yang akhirnya dilanjutkan dengan penelitian oleh Puslit Arkenas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Nah, kontroversinya adalah Tim Terpadu Penelitian Mandiri menyebutkan berdasarkan analisis geologi atau analisis karbon, Gunung Padang menyimpan ruangan bagian bangunan pada kedalaman 19 meter yang berasal dari masa lebih dari 10.000 Sebelum Masehi (SM). Ruangan itu berada di zona yang disebut lapisan budaya tiga dan empat dalam penelitiannya.
Sebelumnya, tim menduga bahwa Gunung Padang menyimpan bangunan tua. Bangunan tersebut berupa punden berundak, yang disebutkan lebih besar dan lebih tua dari situs fenomenal Piramida Giza di Mesir. Menurut riset tim ini, ruangan tersebut membuktikan bahwa bangunan yang dimaksud benar-benar ada.
Riset Tim Terpadu Penelitian Mandiri memang cukup mengeskalasi dan kala itu, pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi prioritas penelitian nasional dan memakan biaya besar. Area penelitian pun yang semula seluas 1,7 hektare, lewat Peraturan Gubernur Jawa Barat, menjadi seluas 25 ha.
Sementara itu, Puslit Arkenas menyebutkan perkiraan usia situs bebatuan Gunung Padang berasal dari masa sekira 2.500-1.500 SM. Menurut Puslit Arkenas, situs megalitik itu hanya teras batu bergaya menhir di puncak bukitnya saja, hasil penelitian dari 1979-2005, yakni situs yang ada di dalam pagar. Namun, Tim Terpadu Mandiri menyebutkan, mungkin seluruh bukit dengan tinggi 100 meter atau paling tidak sekitar sepertiga dari puncak merupakan situs.
Puslit Arkenas dan Tim Terpadu Mandiri juga berbeda pendapat soal tingkat peradaban di sekitar wilayah Gunung Padang. Menurut Arkenas, peradaban di sana seusia situs, masih sangat sederhana atau primitif dari masa sebelum Masehi. Istilah Mahakarya pendapat Arkenas, bermaksud menyebutkan mahakarya dari bangsa primitif. Sementara itu, Tim Terpadu Mandiri menyebutkan, Situs Gunung Padang bukan hasil satu generasi, tetapi multi generasi. Menurut mereka, yang paling atas bergaya menhir mungkin peradaban sederhana, hanya menata ulang reruntuhan batuan yang sudah ada, kemungkinan berumur sekira 600 SM atau lebih muda. Namun, dua meter di bawahnya, diselingi tanah timbun adalah bangunan yang sangat maju yang dibuat dari susunan batu-batu kolom, yang diperlakukan seperti batubata, tersusun rapi dan diisi atau terbungkus semen. Kemungkinan hal itu berasal dari peradaban sekira umur 4.600 SM dan di bawahnya lagi, masih ada struktur bangunan yang lebih tua.
Menurut Ketua Tim Arkeolog dari Tim Terpadu Mandiri, Dr Ali Akbar, bila terbukti Gunung Padang merupakan bangunan peninggalan peradaban maju, itu akan membangkitkan kebanggan masyarakat Indonesia sebagai bangsa. Seperti halnya keberadaan situs Machu Picchu bagi bangsa Peru. Manchu Picchu usianya lebih muda dari Candi Borobudur dan Borobudur yang megah saat ditemukan hanya berupa onggokan bukit batu yang ditumbuhi semak dan pepohonan. Menurutnya, apalagi Gunung Padang yang memiliki dua versi peradaban, usia 2.500 SM dan 10.000 SM.
Untuk menguak usia dan bentuk Gunung Padang yang sebenarnya, memerlukan sumber daya besar dan waktu yang lama. Namun, situs Gunung Padang membuktikan adanya kemampuan teknologi hingga sosial budaya dari nenek moyang kita, yang sudah jauh lebih modern dari catatan sejarah ilmu pengatahuan dan peradaban yang diyakini selama ini. Oleh karena itu, situs Gunung Padang bisa dijadikan destinasi wisata alam, sejarah, dan juga ilmu pengetahuan. (Info PR)
INFO WISATA – Trik Menikmati Sauna Di Kawah Kamojang



Recent Comments